Kukendarai motorku dengan kecepatan cukup tinggi dengan perasaan marah, angkuh, menyalahkan banyak hal.
Kutatap lurus kedepan, ke arah jalan yang cukup ramai aktifitas yang aku tak mau tau apa.
Kaca-kaca halus ini ada dipelupuk mata, membuat pandangku tak cukup jernih.
Kukutuk kebodohanku.
Kusuarakan "harusnya...harusnya.." untuk diriku sendiri.
Kelewat lalai, ku rem motorku dengan dalam. Berhenti mendadak.
Kulihat seorang ibu yang sudah banyak kerutan diwajahnya. Tapi yang paling jelas kulihat dahinya berkerut tajam. Alisnya khas orang marah namun belum bersuara. Campur kaget hampir kutabrak.
"Maafkan saya bu." Ku tundukkan kepalaku sesaat lalu kulihat beliau lagi. Aku diam. Otakku belum bekerja dengan baik, tapi aku tau aku yang salah.
Matanya yang marah luluh, kerutan didahinya menjadi tipis. Ibu itu mengangguk. Kenapa bisa beliau mengurungkan niatnya marah?
Kutatap terus matanya, tak terlewatkan sama sekali perubahan mimik wajahnya. "Hati-hati nak. Saya juga minta maaf." Lalu berlalu melanjutkan menyeberang jalan raya.
Bel kendaraan menyeruak dari belakangku. Kugas lagi motorku. Iya. Tak kulihat lagi ibu itu. Tak peduli apa yang akan dilakukan setelahnya.
Terima kasih karna tidak jadi marah. Terima kasih telah minta maaf juga padaku padahal tak salah.
Kata 'maaf'' itu ajaib ya?
Untukku, maaf.
Mungkin dengan aku minta maaf pada aku, aku bisa membuat aku mengurungkan marahku.