Kamu punya caramu. Ini caraku. - Nyovika

Senin, Juni 27, 2011

MimpiBURUK

OKE! Ini CERITAKU. Mana CERITAMU??

Semalam aku mimpi.
Mimpi ini beda dari biasanya.
Rasanya lebih nyata.
Gara-gara mimpi ini, aku sampai keringetan.
Tepatnya keringet dingin!

SUMPAH DEMI APAPUN DEH!!
Ini serem banget!!
Rasanya jantung aku berdetak lebih cepat.

Disana ...
seorang wanita tengah berdiri sendiri. Di kegelapan.
Dengan pakaian daster biasa warna oranye dan rambut terkuncir agak berantakan.
Ketika itu masih subuh.
Semilir angin yang masuk dari jendela terasa dingin melewati leher.

Dan yang membuatku SHOCK. Itu adalah aku????

Sungguh aku tidak kuat. Aku masih belum siap.
Rasanya aku masih mau berumur 15 tahun lebih lama.

Aku bermimpi jadi seorang yang sudah dewasa.
Tepatnya IBU-IBU.
Aku bermimpi menjadi ibu-ibu yang selalu bangun pagi-pagi.
Untuk memasak.
Setiap hari seperti itu berulang-ulang.

Itu mimpiBURUK kan? Untuk seorang aku :'(
Dan PARAHNYA LAGI ...
Aku mimpi nggak pernah main TWITTER lagi!

     -pagi-

Ketika aku bangun. Rasanya semua sudah lebih baik.
Keringat dingin sudah tidak lagi menetes dari pelipisku.
Segera aku menarik nafas dalam-dalam sepuas-puasnya.

Ketika itu, satu doaku.
Tuhan biarkan aku menikmati setiap hariku, bahkan setiap detik dalam hidupku selama aku masih muda.
Aku masih belum siap menjadi orang seperti itu.
Aku tahu, itu kelak mungkin akan terjadi.
Tapi biarkan aku menujunya normal.
Saat ini aku benar-benar BELUM SIAP!!


 -SUDAH- Itu tadi ceritaku :)
   Kenapa? Nggak ada yang aneh kan?
   Aku hanya menceritakan mimpiku.
   Suka-suka aku kan mau cerita apa aja.
   Ya. Selama masih muda. Aku masih boleh bebas menceritakan mimpiku suka-suka.
Read More

Semua Tentang Kita


"Teringat di saat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita"

Waktu itu bukan sesuatu yang mutlak -Satu Abad Sekejap Mata- 

Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya -Filosofi Kopi-

Rasanya disini, petikan buku itu ada benarnya. Waktu memang tidak akan pernah menjadi sesuatu yang mutlak. Dan terkadang kesempurnaan tidak selalu membawa keindahan. Ada kalanya, indah berasal dari ketidak sempurnaan. Begitu pula lah petemanan dan persahabatan. Klise? Ya. Kadang arti pertemanan atau persahabatan itu memang klise. Tetapi entah disadari atau tidak oleh beberapa orang, yang dianggap klise itu ada dan nyata.
 
Ini kenanganku..
Ini hidupku..
Ini cerita tentang aku..

 

*
 

Angin seperti biasa tidak bisa keluar masuk dengan mudahnya ke sebuah ruang kelas dengan bangku yang tertata rapi dan di huni oleh murid-murid kelas 1 SMA. Mungkin karena Air Conditioner yang menyala yang dapat megalahkan angin yang akan masuk atau memang angin enggan masuk kesana. Bukan. Tapi karena jendelanya memang tertutup. Ha ha.
 
Tepat pukul tiga sore. Cuaca mendung kala itu, memberi hawa yang berbeda pada tubuh ini ketika keluar dari kelas. Sinar ultraviolet matahari tidak terlalu memancarkan aura panasnya. Rasanya… lebih menenangkan.
 

"Risty!! Ayo ikut. Kita mau pergi jalan-jalan." terdengar suara teriakan seorang gadis bernama Tia yang dengan semangatnya menarik tangan Risty melangkah kearah gerbang.
 

Tubuh Risty yang tidak lebih kuat darinya pun hanya pasrah mengikuti tarikan tangan Tia. "Kemana? Aku mau pulang aja istirahat." jawabnya pelan .
 

"Eh nggak bisa. Ayo ikut!" Arya bergegas turun dari mobilnya, sudah menanti di depan gerbang dan semakin melemahkan gerakan Risty karena ikut mengulurkan tarikannya.
Risty menghela nafas, "iya deh. Aku ikut." jawabnya lagi dengan nada pasrah. Kemudian ikut masuk kedalam mobil milik Arya.
 

*

"Disana disana. Jangan taruh situ … geser lagi ya …."
 

"Kalo ini dimana?" terdengar suara bariton yang lebih berat menunjukkan benda besar yang terlihat amat penting.
 

"Aduhhh, itu harus ada disana." jawabnya sambil menudingkan telunjuknya ke suatu tempat. Nada suara dan tampangnya sangat menunjukkan kepanikan. Kemudian kembali berlari-lari kecil dengan tergopoh.
 

Pondok dari susunan bambu rapi itu masih disana. Diatas sebuah pohon besar dengan akar kokoh yang menyangganya. Tidak terlalu tinggi memang. Tetapi cukup kuat untuk menopang batang dan daunnya, bahkan sekaligus satu pondok sedarhana diatasnya. Akar-akarnya yang besar dan mampu menembus bebatuan tanah, sudah tertanam dalam. Mengiringi usia pohon itu yang mungkin sudah sejak puluhan tahun yang lalu hidup disana. Di sebuah perkebunan yang cukup luas, di belakang perumahan perumahan yang berjejer berdampingan.
 

"Bima? Gimana? Udah beres kan?" tanya lembut seorang gadis seraya menatap lawan bicaranya dari pintu rumah pohon.
 

"Sipp! Udah kok Mel." jawabnya sambil mengacungkan ibu jarinya.
 

Mendengar itu, seseorang yang di sapa dengan sebutan Mel atau Amel itu pun tersenyum manis menandakan kepuasan. Kemudian kembali menengokkan kepalanya keluar pintu untuk mengawasi apa ada orang lain yang datang.
 

Tujuh menit kemudian…
 

"Bima, udah keliatan dibawah. Ayo turun."
 

*

Hitam. Gelap. Kenapa belum ada yang mengizinkannya mengintip warna langit? Atau mungkin, warna tanah saja yang tengah diinjaknya? Walaupun seharusnya ia sudah tahu bagaimana warnanya. Masih dengan kedua tangan yang dipegangi orang lain kuat-kuat, dan kakinya yang melangkah pelan sambil terus meraba-raba kedepannya, barangkali ada benda lain yang siap ditabraknya selama matanya masih tertutup rapat oleh kain yang lebih tepat disebut sapu tangan warna biru tua itu.
 

"Kalian kenapa sih? Aku nggak bisa liat nih!! Mau ngajakin aku main petak umpet?" tebak Risty sekenanya. Karena ia tidak mengerti apa maksud teman-temannya ini setelah menutup mata Risty secara paksa sebelum mereka turun dari mobil Arya.
 

"Yee, masa mainan anak SMA petak umpet! Ya nggak lah Risty. Tunggu aja, kita mau ngasih kejutan." Tia yang kini masih memegangi tangan kanan Risty berusaha menjawab agar membuat temannya lebih sabar. Di sebelah kiri Risty, Arya hanya menanggapi jawaban Tia dengan anggukan. Yang pastinya Risty tidak dapat melihatnya.
 

"Kejutan?" suara Risty terdengar lebih bersemangat kali ini,"emang apa?" tanyanya penasaran.
Kedua temannya, hanya tersenyum-senyum berhadapan tak memberi jawaban.
 

"Tunggu aja Ris!!" Arya pun membuka suaranya.
 

Beberapa saat kemudian, terasa oleh Risty tidak ada lagi bunyi hentakan kaki dari kedua temannya. Dan tidak terasa lagi tarikan di kedua tangannya untuk berjalan.  

"Kita udah sampai?" tanya Risty dengan nada masih bingung.
 

"Udah. Aku buka ya ikatannya." kata Tia sambil bergerak kebelakang tubuh Risty untuk membuka sapu tangan yang di jadikan penutup mata itu.
 

Ikatan penutup mata itu sudah terbuka dan terlepas dari kepala Risty. Sejenak Risty menarik nafas panjang merasakan udara yang lebih sejuk disekitarnya. Kemudian ia membuka matanya. Surprise!!! Risty mengangkat sebelah alisnya dan terdiam melihat apa yang kini berada depannya.
 

"Hai." seseorang dengan suara bariton itu muncul didepannya dengan senyuman manis.
 

"Hai Risty." suara lain terdengar lebih lembut sambil melambai-lambaikan tangannya manja.
Waktu terus berjalan diiringi hembusan lembut angin sore. Mata Risty masih berkedip normal. Lalu?
 

"Ha? Apa? Mana kejutannya??" tanya Risty polos dengan wajah cengo.
 

"Ini kan kita nemuin kamu sama Bima sama Amel." ujar Arya dengan nada lebih polos. Dengan wajah bahagia mengangkat bahunya sambil merentangakan satu tangannya kearah Bima dan Amel.
Risty hanya menatap wajah Arya dengan tampang kikuk. Mengucap kata 'a' tanpa suara.
 

"Kamu nggak kangen sama mereka? Kan kita udah nggak satu sekolah lagi." tambah Tia dengan wajah lebih berbunga. Atau… lebih terkesan berlebihan.
 

Mereka berlima memang teman baik dari SMP. Karena sebuah kebetulan yang mempertemukan mereka dikelas yang sama setiap tahunnya,itu membuat mereka semakin dekat satu sama lainnya sebagai sahabat. Dan setelah lulus SMP. Dua diantara mereka, yaitu Bima dan Amel tidak bersekolah ditempat yang sama dengan Risty, Arya, dan Tia. Mungkin memang ada rasa rindu diantara mereka karena jarang bertemu disebabkan sekolah yang berbeda. Dan tidak ada yang aneh jika mereka mengadakan acara berkumpul bersama untuk bermain-main. Tetapi … tidak sampai seperti itu kan? Sampai memaksa, menarik-narik tangan Risty, belum lagi membiarkan Risty berjalan lebih sulit dengan menutup kedua matanya hingga harus tertatih melangkah karena tersandung batuan kecil yang tidak bisa ia lihat. Maksudnya,… bahkan mereka berlima tinggal di rumah-rumah yang berada di komplek yang sama.Tolong garis bawahi kata 'komplek yang sama'. Mereka masih bisa bertemu sesuka mereka jika mereka ingin. Walaupun mereka tidak ingin pun, mereka tetap akan bertemu ketika hari minggu saat jogging, atau saat kerja bakti komplek. Bahkan rumah Amel dan Risty bersebelahan. Konyol.
 

"Yaa, ada sih kangen. Tapi …" Risty melambatkan nada bicaranya,"kita semua tinggal satu komplek. Malah aku sama Amel tetanggaan!" nadanya masih terdengar sabar tertahan."Jadi NGGAK AKAN SEKANGEN ITU KAN?!" disini ucapannya lebih tegas dan dengan nada sedikit tinggi. Risty menghela nafas, menatap aneh satu persatu sahabat-sahabatnya.
Keempat temannya masih menatap Risty dengan tatapan sangat amat polos. Terlihat sedikit ngece memang. Menjengkelkan. Tapi Risty masih sabar.
 

"Ah udahan ah. Aku pulang. Dahhh." kata Risty berusaha membalikkan tubuhnya untuk pulang. Terlambat. Arya sudah berada didepannya ketika berbalik.
 

"Kemana? Kamu nggak ngehargain kita udah siapin ini?" kata Arya dengan tampang sedih kearah Risty. Di ikuti wajah teman-teman yang lain yang lebih melas, apalagi Tia.
 

"Ha?" Risty kembali bingung dengan sikap teman-temannya yang tidak seperti biasanya ini. Lebih mendramatisir keadaan. Oh ayolah! Apakah kalian sedang demam Drama yang beraliran cengeng? Pikirnya yang tergambar dari wajahnya.
 

Waktu masih berjalan. Satu menit. Dua menit. Kemudian…
 

HAHAHAHA AHAHAHA
 

Tawa kencang perpaduan dari suara remaja-remaja labil disana semakin berebutan. Seperti berambisi memenangkan lomba 'Tertawa Paling Kencang' dengan hadiah 'Emas Pada Puncak Monas' akan dibawa pulang pemenangnya. Bahkan Bima yang tak tahan melihat tampang Risty sampai menjatuhkan dirinya ketanah dan terus melanjutkan tertawaannya sambil memukul tanah lemah. Astaga.
 

"Kenapa ketawa? Apa yang lucu sih?" Risty masih kebingungan, sambil sedikit menahan tawa. Bukan karena ia tahu apa yang ditertawakan. Tetapi karena ia tidakk sanggup untuk tidak tertawa melihat tingkah teman sebayanya yang terus-terusan tertawa sebebas-bebasnya hampir mirip orang tidak waras," ha..haha.. kalian gila ya? Ayo dong jangan bikin aku kaya orang bodoh disini." lanjutnya gemas dengan teman-temannya sembari menghentak-hentakkan kakinya pelan merasa dipermainkan.
 

"Sumpah … hhha … tampang kamu lucu banget Ris!!" ucap Bima masih menahan tawa,"harusnya tadi direkam tuh muka pas … haha" belum selesai melanjutkan perkataannya, ia malah melanjutkan tertawanya.
 

Kembali Risty takjub betaba kejamnya teman-temannya membuat ia yang seakan paling tidak mengerti segala-galanya disini."Orang gila!" ucapnya masih mengarah ke Bima dengan senyum sinis. Lalu melangkahkan kakinya menjauh.
 

"Risty!!! Jangan pergi dulu dong!" kata Amel yang memperhatikan gerak Risty lalu mengejarnya.
 

Ya. Mereka mulai menjelaskan semuanya kepada Risty. Menenangkan sahabatnya agar tidak marah lagi. Menjelaskan bahwa yang dilakukan mereka tadi hanyalah keisengan konyol belaka. Mereka hanya ingin mengajak berkumpul bersama ditempat yang sering mereka datangi bersama itu. Dimana tempat yang sejuk, adem. Tempat mereka berbagi cerita, berbagi kebahagiaan dan kesedihan, hingga berbagi makanan satu untuk semua.
 

"Terserah deh!! Udah badmood aku. Mau pulang." sahut Risty ketus setelah mendengar semua cerita temannya.
 

"Ris, jangan marah dong. Happy birthday." ucap Tia, ketika Risty akan beranjak dari tempatnya berdiri.
 

DEG  

Ulang tahun? Aku? Bahkan aku tidak mengingatnya. Pikiran Risty bergeming seketika membuat langkahnya terhenti.
 

"Selamat ulang tahun Risty! Semoga persahabatan diantara kita abadi." ucap Amel tulus.
 

"Maaf kita nggak bisa ngasih apa-apa. Happy birthday. Panjang umur ya." tambah Arya lembut menebar senyumnya.
 

Satu persatu kata-kata doa terucap dari mereka. Risty masih terdiam merasa tidak percaya. Mereka, sahabat-sahabatnya … benar-benar menunjukkan padanya bahwa benar ada arti special dari kata 'persahabatan'.
 

"Happy birthday Ris." kembali ucapan itu terdengar dari seorang Bima sambil menyentuh tangan Risty lembut.
 

Oww. Risty bisa terharu. Matanya mulai berkaca.
 

"Kalian!! Ihh, sumpah sinetron banget! Aku nggak nyangka kalian bisa gini." kata Risty menghapus kasar air matanya yang belum sempat jatuh. Lalu tertawa kecil. Tetapi tawa kecil itu sangat berarti banyak."Makasih ya." tambahnya tulus.
 

"Ahh Risty jangan nangis. We love you." ucap Amel sembari melingkarkan kedua tangannya ke leher Risty.
 

"Yayaya, tapi lain kali nggak usah pake drama gini ya. Belajar teater dimana kalian?" kata Risty menggoda yang lain.
 

 "Nggak pake belajar udah bakat alam itu Ris." sahut Arya.
Kembali kelima dari mereka melepas kebahagiaan bersama. Merayakan kegembiraan ulang tahun Risty dengan tempat bernuansa rimbun klasik itu sebagai saksi bisunya. Hingga tidak terasa waktu telah menunjukkan lebih enam menit dari pukul tujuh malam. Mareka duduk bersama ditemani sebuah senter besar yang sengaja dibawa Amel dari rumah. Ketika itu Arya meminta tolong Risty sang empunya acara mengambilkannya jajanan kecil diatas rumah pohon.
 

"Tunggu ya." kata Risty sembari menaiki tangga kayu lama, yang menghubungkannya dengan rumah pohon diatas.
 

Dibawah, entah apa yang terjadi. Dengan cepat Bima berlari ke balik pohon menarik sebuah tali panjang.
 

SRRRTTTTTTTT
 

Tiba-tiba muncul cahaya kekuningan dari atas pohon yang begitu manis di kegelapan.
Di atas, Risty melihat jelas sebuah tirai hitam tebal, sangat tebal. Dengan cepat terbuka lebar bersamaan suara tarikan tali tadi terdengar. Memperlihatkan keanggunan malam dengan lampu-lampu kamar kecil yang sengaja dikaitkan dengan tali lalu di gantung di dinding kayu yang begitu banyak membentuk tulisan 'Happy Birthday Risty' dengan bungkusan-bungkusan kecil disekelilingnya. Termasuk bungkusan jajanan yang mereka cari. Terlihat samar-samar kebahagiaan mereka yang tergambar dari foto-foto masa dahulu yang tertata di meja sebelah kanan diterangi lampu-lampu kekuningan tadi. Foto ketika mereka baru selesai membangun rumah pohon bersama sang ayah masing-masing. Foto posse paling narsis mereka saat berkemah bersama disana. Foto ketika mereka sedang bersenda gurau dengan banyak makanan disana, foto yang diambil tanpa izin itu terlihat sangat natural, memperlihatkan wajah tulus yang menjadi pusat bidikan kamera itu. Dan terakhir foto mereka bersama ketika baru memakai seragam SMA. Sungguh manis. Risty hanya terdiam melihatnya. Belum ada reaksi. Tidak tahu harus apa, karena pandangan sayunya masih terpaku pada apa yang dilihatnya kini. Tiba-tiba air matanya menetes tanpa permisi, tanpa ia tahu, itu sudah menjalari lekuk pipinya. Yang kemudian ia usir dengan balik lengan kanannya.
 

Ia melihat kearah orang-orang yang tengah berdiri dibawahnya. Menebarkan senyum manisnya. Benar-benar berterima kasih pada mereka. Orang-orang yang telah diciptakan Tuhan untuk membuat indah hidupnya. Mempercepat detik-detik diharinya sehingga tak terasa semua cepat berlalu. Ahh. Suara desahan itu terdengar pelan, nyaris tidak terdengar. Tiba-tiba terasa ada yang menusuk dipinggangnya. Sakit. Hanya satu harapannya saat itu. Tuhan, jangan kirimkan malaikatmu untuk menjemput ku, jangan dulu.

*

Pagi itu lebih berbeda. Matahari terlihat lebih semangat hari ini. Lebih terang memancarkan warnanya. Dan panasnya lebih terasa. Ditengah upacara yang panjang bagi siswa-siswi yang tengah berbaris rapi dilapangan luas. Sebenarnya tidak terlalu rapi, karena banyak anak manusia ini tidak bisa berhenti bergerak karena kepanasan.
 

Seperti biasa Risty tidak mengikuti upacara. Karena bukan rahasia lagi jika ia sering pingsan saat mengikuti upacara. Katanya karena ia memiliki kurang darah.
 

"Enak ya Risty nggak pake ikut upacara. Sumpah panas banget." ucap seorang murid kepada Tia.
 

Tia menarik nafas lalu menghembuskannya, kemudian berkata,"iya!!" menandakan setuju. Lalu tidak berkata apa-apa lagi karena kepanasan.
 

*
 

Istirahat Sekolah 10.15 WIB
 

Semua murid mulai berhamburan keluar untuk istirahat, menikmati kesenjangan waktu setelah lama suntuk karena pelajaran. Tia begitu semangat mengajak temannya yang masih tergeletak lesu ini untuk pergi ke kantin.
 

"Ayo Ris!! Ke kantin!! Aku laper Risty." kata Tia sedikit memaksa.
 

"Ah aku capek Tia. Kamu ke kantin sendiri aja ya. Beneran aku lemes banget, apalagi baru ngerjain tugas banyak tadi fisika sama sejarah." jawabnya jujur.
 

"Tapi Ris,.."

"Please Ti, aku mau istirahat." mohon Risty sebelum Tia menyelesaikan omongannya.
 

"Yaudah deh." serah Tia," aku ke kantin dulu ya." ujarnya kemudian pergi meninggalkan Risty di kelas.

*
 

Kantin
 

Tia kini tengah menikmati makanannya di kantin dengan beberapa teman sekelasnya juga bersama Arya. Rasa makanannya sungguh nikmat karena memang saat itu Tia sedang lapar. Beberapa saat kemudian, murid-murid lain di meja lain, di belakang kursi yang tengah diduduki Tia. Mereka sedang memperbincangkan sesuatu yang tak asing di telinga Tia, yang dengan sengaja didengarnya karena itu menarik perhatiannya. Mereka membicarakan Risty.
 

"Eh kalian tau kan Risty anak X-3, kayaknya dia pake deh. Liat aja, tiap hari lemes gitu. Belum lagi, dia kan selalu pulang paling akhir kalo pas pulang sekolah. Pasti ngapa-ngapain dulu disekolah." ujar seorang gadis dengan gaya –sok-cantik-nya- dengan nada sedikit centil kearah teman-temannya.
 

"Maksud kamu apa?" kata teman lainnya yang merasa kebingungan dengan pernyataan temannya itu.
 

"Ya…" ucapannya terpotong, entah kenapa ia menundukkan badannya lebih mendekat ke temannya, lalu berkata,"mungkin aja dia pake narkoba atau semacamnya." ia kembali membenahi posisi duduknya.
 

Tia yang merasa tidak terima, karena yang menjadi pusat obrolan itu adalah sahabatnya pun berdiri.
 

BRAKK
 

Pukulan meja dari tangan Tia terdengar nyaring.
 

"Hehh, maksud kamu apa ngomong gitu? Kamu nggak kenal Risty ya! Jadi nggak usah nyebarin gossip nggak penting kayak gitu!!" bentak Tia, menatap tajam ke arah gadis centil tadi lalu pergi meninggalkannya yang masih memasang wajah ketakutan sekaligus kaget.


*   

Pulang Sekolah
 

TETTT.. TETTTT.. TETTTTTT
 

Bel pulang sekolah sudah terdengar. Semua murid bergegas membereskan buku-bukunya dan semua alat tulisnya kembali ke tas masing-masing. Ketika itu Tia mengajak Risty untuk pulang bersama. Dan ketika itu pula Risty menolaknya. Tia memang heran, selama ini, selama ia mengenal Risty, selalu tidak mau diajak pulang sekolah bersama siang hari. Dia lebih memilih pulang sendiri ketika sudah agak sore. Alasanya karena ia ingin melanjutkan menulis pelajaran, menyalin catatan, mengumpulkan tugas, ada ekstra dan alasan-alasan lain. Walupun itu baru terlihat waktu awal SMA ini. Karena waktu SMP, sekolahnya lebih sering pulang sore karena ada bimbingan belajar. Seperti drakula saja tidak pernah keluar disiang hari. Tetapi bedanya yang ini tidak memiliki taring yang mengerikan.
 

"Kenapa sih kamu nggak pernah mau pulang bareng aku?" kata Tia memasang wajah agak kecewa.
 

"Maaf Tia, aku mau nyatet pelajaran dulu ya. Kamu duluan aja." jawabnya berusaha menenangkan sahabatnya.
 

Lagi-lagi alasan itu. Batin Tia."Nanti aku pinjemin catatan aku deh. Ayo pulang bareng." Tia mulai merayu.
 

"Please Tia, aku masih mau disini. Kamu bisa pulang dulu. Nggak perlu nunggu aku." ujarnya menatap memelas kearah Tia.
 

Tia yang tidak mempunyai maksud memperpanjang perdebatan pun hanya melengos."Terserah kamu deh." ucapnya yang terdengar tidak ikhlas. Memasang wajah marah kepada temannya yang keras kepala itu yang tidak bisa ia tutupi lalu pergi meninggalkan Risty.


*
 

"Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati"


Kamar Risty 23.34 WIB
 

"Ma, Risty capek. Badan Risty sakit semua." ucapnya pelan kerah sebuah foto dengan kayu klasik berwarna coklat kemerahan membingkainya."Risty kangen mama." ucapnya lagi. Mengingat bahwa seseorang yang dipanggilnya dengan sebutan Mama itu telah berada jauh darinya, sangat jauh. Sekaligus ia mengenang saat-saat bersama orang tercintanya itu.
 

"Ma, hari ini Risty udah remsi umur 16 tahun. Mama tahu artinya apa? Mereka salah ma. Risty masih sanggup. Risty kuat ma." kembali Risty berkata pelan, sangat pelan nyaris tidak dapat di dengar. Menatap lembut kearah foto yang masih ia pegang. Membaringkan tubuhnya ditempat tidur pada posisi yang nyaman. Sedikit demi sedikit otaknya memerintahkan mata serta tubuhnya untuk lebih rileks melepaskan beban duniawinya.


*
    

"Risty!! Kamu gila ya! Kamu ngapain ngelakuin ini??" suara yang semakin meninggi di setiap katanya itu terdengar dari mulut Tia.
 

"Kamu salah Tia. Ini nggak kayak yang kamu bayangin. Bukan!" ujar Risty setengah terburu dan ketakutan. Merasa bingung. Tubuhnya melemas.
 

Tia masih menggeleng-gelengkan kepalanya, menatap miris kearah Risty. Apa yang dilihatnya membuatnya tidak habis pikir. Obat-obat terlarang itu berceceran di meja lengkap dengan suntikannya yang Tia sendiri tidak mengerti untuk diapakan."Ris, kamu… bener-bener pake barang-barang ini? Sebegitu bodohnya kah kamu??" ucapnya lagi. Kali ini dengan nada lebih membentak dan amat kecewa.
 

"Bukan aku pemilik benda-benda bodoh ini!" jawab Risty yang masih terdengar lemah.
 

"Ha? Apa kamu pikir aku bisa langsung percaya sama kamu? Ternyata waktu empat tahun tidak cukup lama untuk aku bisa benar-benar mengenalmu. Aku kecewa sama kamu!" Tia mulai mengikuti nada bicara Risty.
 

"Kamu salah. Memang ada yang aku sembunyikan dari kamu dan yang lain. Tapi bukan ini, suntikan dan obat-obat itu bukan milikku." serah Risty yang sudah mulai lelah.
 

Dari ambang pintu gudang di belakang sekolah itu, Arya datang dengan terburu-buru. Memastikan apa yang benar-benar terjadi."Risty."
 

 "Arya, tolong percaya sama aku. Tadi aku kesini cuma mau ambil alat kebun. Ini bukan milik aku. Itu udah ada disana dari tadi." kedatangan Arya, memberinya harapan lagi untuk dibela. Meminta untuk dipercaya.
 

Tapi terlambat. Arya yang sudah benar-benar percaya dengan semua perkataan teman-temannya di depan sudah tidak dapat berpikir jernih dengan perbuatan sahabat perempuannya itu. Berita itu menyebar begitu cepat. Hampir seisi sekolah membicarakan sosok perempuan itu 'Risty'.
 

Risty mendekati Arya. Rasanya ia semakin sulit mendapatkan udara."Arya." ujarnya sembari menggenggam kedua tangan Arya."bantu aku. Percaya aku." tambahnya pelan.
 

Arya hanya menepisnya perlahan tanpa berani menatap Risty.
 

"Hh, buat apa kamu ambil alat kebun? Risty, kamu mau jujur sama kita? Kenapa kamu selalu pulang paling akhir ketika sekolah? Kenapa kamu sering lemas, lesu ketika pelajaran? Apa itu? Sakau? Itu semua karena ini kan?" hardik Tia cepat sesuai dengan apa yang tengah ada dikepalanya.
 

"Cukup Tia!! Jangan terus mojokin Risty!"
 

Mendengar perkataan Arya, membuka sedikit kelegaan di hati Risty. Hanya sedikit. Lebih sedikit dari setengah darah yang mengalir pada tubuh nyamuk.
 

"Biar guru-guru yang ngurus semuanya." lanjut Arya.
 

Seketika harapan Risty lenyap. Seperti butiran gula yang tidak kokoh itu, harus tersiram banyak air yang membuatnya mencair. Kemudian hilang. Tak terlihat lagi.


*

    Kupu-kupu merah muda itu datang lagi
    Menjual gratis butir-butir lada
    Pedas mengerikan
    Menegaskan kenyataan
    Manegaskan Tuhan
    Maha tak pernah ingkar

Ruang Kepala Sekolah 12.05 WIB
 

"Bapak benar-benar tidak percaya seorang terpelajar sepertimu bisa melakukan hal seperti ini Risty." ujar sang kepala sekolah. Beliau menggeleng-gelengkan kepalanya tanda kekecewaan.
 

"Saya tidak pernah melakukannya pak." jawabnya penuh keyakinan.
 

"Mugkin kamu tengah berada dalam posisi sulit saat ini. Tetapi hendaknya kamu bisa berfikir lebih jernih." ucapannya terpotong. "Disini saya hanya meminta kejujuran kamu Risty."
 

"Sulit bagi saya untuk berkata bohong pak. Karena kenyataannya saya sudah berkata jujur." kata Risty masih berusaha tenang.
 

"Kamu tahu kan, ini sangat bisa menghancurkan hidup kamu. Kenapa kamu begitu bodoh bisa melakukan ini!" hardik kepala sekolah itu.
 

Pikiran Risty sudah benar-benar tidak karuan. Ia bingung harus berkata atau harus berbuat apa supaya bapak kepala sekolah di depannya ini dapat mempercayainya. Atau tidak adakah satu orang saja yang mempercayainya? Satu saja yang mau berusaha membantunya keluar dari masalah ini? Benar-benar tidak ada kah? Mungkinkah aku bisa berharap ada pangeran berkuda yang bisa menjemputku pergi dari sini? Atau malah berharap ada seorang ibu peri yang akan memberiku tiga permintaan semauku, kemudian aku minta masalah ini selesai? Astaga. Otak ini mulai keluar batas normalnya. Harapan yang tidak berguna. Hanya semakin memuncakkan emosinya.
 

"Risty? Kamu masih mendengar bapak kan?" suara kepala sekolah itu muncul lagi di telinga Risty."Sebentar lagi polisi akan segera kesini untuk menjemputmu." lanjut beliau menatap Risty miris.
 

Oh. Sial. Batin Risty.
 

Secepat inikah? Kebohongan ini benar-benar masalah besar! Risty menyerah. Setidaknya cerita modern sampai dongeng masa kecil memperlihatkan bahwa kebaikan yang akan jadi pemenang bukan kebohongan. Kepercayaan klise. Suara nyaring dari ponsel Risty memecah keheningan.
 

"Permisi pak. Saya boleh mengangkat telephon?" tanyanya pelan.
 

"Silakan."
 

Risty menekan tombol hijau pada ponselnya, lalu ia dekatkan ke telinganya. Tanpa terpikirkan apa yang akan ia dengar. Ia benar-benar lelah dengan semua yang menimpanya. Tiba-tiba …
 

DEG
 

Ada yang lain pada jantungnya. Detakannya terasa semakin cepat. Tetapi malah membuat tubuhnya lemah. Mati rasa sudah mulai menusuk tulang belakangnya. Ada apa? Kenapa rasanya sakit? Tangannya melemah. Ponsel yang mulanya ada di tangan kanannya ia lepaskan tanpa beban.
 

"Papa." ucapnya lirih.
 

Dengan cepat ia memaksakan sendi-sendinya agar dapat bekerja lebih keras. Menegakkan kakinya. Berusaha keluar dari kantor kepala sekolah dan berlari sekencang-kencangnya.Aku ingin bertemu papa secepatnya. Batin Risty.
 

Terus ia pacu kakinya agar dapat bergerak lebih cepat. Masih terngiang di kepalanya suara dari seberang telephon tadi.
 

"Ris, ini aku Amel. Papa kamu kecelakaan di depan kedai kopi dekat sekolah aku. Cepat ke rumah sakit Bakti Mulia. Aku sama Bima udah ada disini." ucap Amel cepat dengan nada terburu-buru. Seperti orang yang sedang berlarian.
 

Terus-terusan kata-kata Amel menggema dipikirannya. Dengan tampang masih lusuh dan bingung ia kini berada di depan sekolahnya berusaha mencari kendaraan untuk dapat membawanya ke rumah sakit yang telah disebutkan Amel. Jaraknya sekitar satu kilometer dari sekolahnya. Ia melambaikan tangannya ke mobil yang lewat, tapi tak ada satupun mau berhenti. Ia melambaikan tangannya –lagi- pada angkutan umum. Apa-apaan ini. Bisa-bisanya angkutan itu penuh dalam keadaan seperti ini. Masih dengan keringatnya yang menetes berebut tanpa bergantian ia mencoba memikirkan cara lain.
 

Asa nya mulai pupus. Kembali ia berusaha berlari melihat kepala sekolah yang sedari tadi terdiam kini tengah berlari kearahnya. Memanggil-manggil namanya kencang. 
 

"Hhh…hhh..hh"
 

Hembusan nafas tidak beraturan terus memburu dirinya sendiri. Risty takut akan kehilangan satu-satunya sosok keluarga yang ia punya itu. Kakinya masih melangkah bergantian menapaki jalanan dengan terburu. Sinar matahari sangat terik kala itu. Semakin menyulitkan langkah Risty.
 

Wajahnya memucat mempertahankan gerakan kakinya agar tatap bergerak cepat. Ruam merah itu tergambar pada wajah pucat Risty. Menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak terjatuh. Sedikit lagi. Batinnya. Ada darah menetes dari hidungnya. Karena kelelahan mungkin. Karena fisiknya yang tak kuat –mungkin-. Ya ampun. Miris sekali nasib gadis ini.
 

Brukk.
 

Kakinya mulai lelah menopang tubuhnya. Risty terjatuh.
 

"Papa!!" teriaknya."Tunggu Risty pa!"
 

BRUMMM…BRUMMM…
 

Motor dengan kecepatan 60 km/jam terlihat berhenti disebelah kanannya.
 

"Ris, ayo ikut. Aku antar kamu ke papa kamu." ucap Arya dengan nada panik ke arah Risty.
 

Tanpa pikir panjang Risty langsung menaiki motor Arya.
 

Tidak ada pembicaraan diantara mereka. Pikiran dua pemuda pemudi ini masih melayang. Antara takut, sedih, marah, emosi, kecewa, tidak dapat tergambarkan dengan mudah. Pemuda satu merasa kecewa dengan sahabatnya, merasa dibohongi tetapi tidak bisa menghilangkan rasa sayangnya padanya. Nyatanya, ia tidak bisa menerima sahabatnya terpuruk sendiri. Membiarkan ia berjuang sendiri. Pemudi lainnya ia marasa sedikit senang, karena masih ada kepedulian pada diri sahabatnya. Tetapi rasa kecewanya lebih banyak, karena merasa tidak dipercaya.
 

Sampai. Tidak memakan waktu lama untuk ke rumah sakit itu. Risty bergegas turun dari motor Arya. Menanyakan dimana tempat papanya dirawat. Ya. Papa satu-satunya itu tengah berada di Instalasi Gawat Darurat. Langkahnya melemah melihat mereka tengah berdiri disana. Amel dan Bima. Wajahnya seakan menanyakan "Gimana keadaan papa?" dengan secerca kesedihan yang menghiasi.
 

"Papa kamu masih di dalam Ris. Dokter belum keluar." ucap Bima yang mengerti apa yang pasti dipertanyakan Risty. Sesaat kemudian melirik ke arah belakang Risty.
 

Mereka. Arya dan Tia yang datang.
 

Tidak tahu apa yang terjadi jantungnya masih berdebar cepat. Rasanya semakin sulit bernafas. Kenapa semua di depan mataku semakin buram? Remang-remang?
 

"Risty!"
 

"Risty!! Bangun Ris!"
 

Suara-suara itu terdengar pelan. Semakin pelan dan hilang. Gelap. Sunyi. Risty tidak lagi berada di alam sadarnya.

*
  
Rumah Risty 14.13 WIB
 

"Aw!" teriaknya sedikit tertahan sambil memegangi pinggang kanannya yang terasa sakit.
 

"Kamu kenapa Risty?" tanya papanya.
 

"Nggak pa. Cuman sakit sedikt. Mungkin karena belum makan."
 

"Penyakit kamu kambuh?"
 

"Cuman sebentar aja kok pa. Ini tadi kan aku baru pulang panas-panasan. Makannya sedikit sakit."
 

"Muka kamu sudah memerah sayang.Besok kamu nggak boleh panas-panas lagi. Papa nggak mau kehilangan kamu." ucap sang papa tegas sembari memeluk lembut anak semata wayangnya itu.
 

Sedih rasanya harus melihat langsung anak perempuannya menahan sakit sendiri karena penyakitnya."Papa sayang kamu, Risty." lanjutnya.



Tiga jam kemudian.
 

 Cklek 

Suara seseorang membuka pintu terdengar memecah kesunyian.
 

"Dokter. Gimana keadaan Risty?" ujar Tia panik menghampiri seseorang tadi.
 

"Risty baik-baik aja kan dok?" tanya Bima tidak kalah panik.
 

Dokter masih diam. Membuka kaca mata tanpa framenya lalu mengucek matanya pelan dengan tangan yang masih terbebas. Terlihat seperti … orang pasrah.
 

"Saya mau berbicara dengan wali dari gadis di dalam." ujar sang dokter.
 

"Ayahnya sedang dirawat juga dok karena kecelakaan. Kita teman dekatnya." Arya menjelaskan.
 

Tanpa basa-basi sang dokter langsung berkata,"kenapa dia bisa dalam kondisi seperti ini?" hardiknya tegas."Seorang odapus tidak seharusnya bekerja terlalu keras. Apalagi sampai seperti ini!" tambahnya mengernyitkan dahi,"dia pasti sedang stress berat." lanjutnya mendengar bahwa ayahnya baru saja kecalakaan.
 

"Tunggu dok. Odapus? Maksudnya?" tanya Amel dengan tampang bingung.
 

"Kalian mengerti kan? Penderita lupus? Ini sudah parah. Penyebaran penyakitnya terjadi dengan cepat! Ini tidak akan terjadi jika dia tidak dalam keadaan stres atau terlalu lelah. Bahkan hubungan secara langsung 
dengan sinar matahari yang terlalu berlebihan juga menyebabkan semakin parahnya penyakit ini." ujarnya lebih lantang karena benar-benar sulit mengatasi penyakit yang sedang berkembang cepat saat itu.
 

"Tetapi sejak kapan Risty punya penyakit lupus dok?" tanya Arya yang tengah shock mendengar pernyataan dokter itu."Kita sama sekali tidak tahu." sesalnya.
 

"Jika sudah separah ini. Pastinya penyakit ini sudah lama bahkan mungkin bertahun-tahun di tubuh gadis itu." jawab sang dokter."Tubuhnya sangat lemah saat ini." tambahnya.
 

"Jangan ada dulu yang mengganggunya dan saya sarankan agar segera melunasi biaya administrasi. Permisi. Saya akan kembali lagi nanti." ucap sang dokter untuk kemudian pergi setelahnya.
Amel hanya bisa terduduk lemas mendengar perkataan dokter. Bisa-bisanya dia sama sekali tidak tahu tentang penyakit yang di derita Risty. Betapa buruknya ia, mengaku sahabat tetapi hal sepenting ini ia tidak tahu. Menduganya pun tidak pernah.
 

"Bodoh! Bodohh!! Kamu bodoh banget sih Tia!!" ucap Tia sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. Meratapi bagaimana bodohnya ia. Betapa kotornya pikirannya sampai tidak mau percaya pada sahabatnya itu. Bagaimana ia bisa pulang ketika siang hari, jika terlalu lama terkena sinar matahari akan membuat penyakitnya semakin parah. Ia malah mengira Risty memakai obat terlarang. Tuhan maafkan kesalahan hambamu yang bodoh ini. Batinnya.
 

"Arrrghhh!!" geram Bima menendangkan kaki kanannya ke tembok di sebelahnya. Emosinya tidak dapat diredam lagi."Kenapa Risty nggak pernah cerita tentang ini ke kita??" tanyanya heran menatap satu persatu temannya meminta jawaban.
 

"Mungkin dia nggak mau buat kita khawatir." sahut Amel.
 

"Tapi ini cuma sama kita? Apa dia nggak nganggap kita?" kata Bima lagi.
 

"Mungkin dia mau kasih tau kita. Cuman belum ada waktu yang tepat." Tia mulai bicara. Matanya mulai berkaca karena rasa bersalahnya.
 

"Empat tahun bukan waktu yang sebentar buat nyari waktu yang tepat Tia." jawab Bima masih ngeyel.
 

"Udah lah!! Pasti ada sebabnya Risty belum cerita sama kita! Yang paling penting sekarang keadaan Risty. Jangan ribut disini!" ucap Arya menengahi.
 

Walaupun ia tahu. Ia bukan orang yang paling benar di antara teman lainnya. Bahkan ia sempat tidak mempercayai Risty. Mengacuhkannya. Sempat membiarkannya berada dalam kesulitan sendiri. Dan mungkin jika tadi ia mempercainya, ia tidak akan mempunyai banyak pikiran yang menyulitkannya. Sampai berlari-lari menghindari kepala sekolah untuk menemui papanya. Membuatnya kelelahan. Kepanasan. Oh benar-benar sekejam itukah aku? Batin Arya. Disini ia menyadari betul betapa pentingnya mesin waktu agar ia bisa kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Tidak menyakiti Risty.
 

"Aku bayar administrasi dulu." ujar Amel."Ayo ikut Ti." ajaknya.
 

Tia pun mengangguk kemudian berdiri ikut berjalan bersama Amel.
 

Rasa bersalah yang mendalam masih menghinggapi batin orang-orang disana. Menyesali apa yang terjadi. Merasa menjadi orang paling mudah di bodohi didunia. Bahkan waktu empat tahun tidak membuat mereka percaya seutuhnya pada sosok 'nya'. Seharusnya tidak begini. Bukan begini persahabatan yang mereka inginkan. Persahabatan yang ada di bayangan adalah yang selalu indah. Walaupun ada kesedihan, tetapi tetap akan dilalui bersama. Dan kebersamaan itu akan memperbaiki semuanya. Ya. Sudah jelas tertulis. Bahwa itu hanya bayangan. Tidak ada yang tertata seindah dan sesempurna itu di dunia. Inilah kenyataan. Setiap orang memiliki kelemahan. Dimana suatu saat mereka pasti melakukan kesalahan dan membuat buruk keadaan. Karena manusia bukan malaikat yang konon tak pernah melakukan kesalahan. Bukan pula seperti Poseidon, dewa yang dapat mengendalaikan air sesukanya. Jika ia ingin menghancurkan. Ia juga bisa memulihkannya. Manusia normal, adalah yang selalu mengalami penyesalan di akhir kesalahannya.
 

Mereka masih terduduk sayu di kursi-kursi ruang tunggu. Otot-otot tubuhnya tidak setegang tadi. Sakit dikepalanya sedikit hilang mendengar keadaan ayah Risty yang tidak mengalami luka serius. Dan tidak perlu waktu lama untuk memulihkan keadaannya. Hanya butuh banyak istirahat. Satu kekhawatiran mereka saat ini. Yang tengah memenuhi isi otaknya. Sudah hampir dua jam lebih dokter tadi tidak kunjung kembali. Tidak mengabarkan informasi tentang keadaan Risty yang masih berada di Instalasi Gawat Darurat. Kenapa lama sekali? Pikir mereka. Satu anak -Bima- berjalan kecil mondar-mandir kesana kemari berusaha mengalihkan kekhawatirannya. Tetapi tetap tidak berhasil. Lama-lama kegalauan mereka terasa semakin nyata. Mendengar raungan pelan Risty dari dalam kamar bersamaan dengan kedatangan dokter tadi dengan suster-suster yang ikut serta dibelakangnya.
 

Lima belas menit kemudian…
 

Bima menghentikan langkahnya yang sedari tadi kesana-kemari tidak jelas. Tia dan yang lainnya terpaku memandang dokter yang keluar dari pintu kamar yang ditempati Risty.
Hembusan nafas sang dokter kedengaarn berat."Saya menyesal mengatakan ini." ucapannya masih menggantung.
 

"Maksud dokter?" tanya Arya yang posisinya saat itu paling dekat dengan dokter itu.
 

"Awalnya saya memang merasa ada yang berbeda dengan fungsi ginjalnya. Saya kira itu adalah gejala lupus biasa. Tetapi ternyata…" sang dokter menarik nafas,"ada masalah dengan ginjalnya yang membuat tidak dapat dikeluarkannya racun hasil metabolism tubuhnya. Perkiraan saya itu sudah terjadi sebelum ia dibawa kesini." lanjutnya, kemudian,"mungkin dia tidak bisa bertahan lama."
Amel meraih tubuh Tia yang berada disebelahnya. Butiran bening dari matanya mengalir lagi.


*

Senyuman kecil terlihat dari wajah bulat Risty.
 

"Aku baik-baik aja kok. Kalian jangan khawatir." ucapnya lembut.
Tidak berselang lama setelah dokter tadi selesai berbicara. Beliau membiarkan mereka masuk. Risty yang masih terlihat sangat lemah menatap lembut ke arah mereka. Terdengar suaranya menanyakan tentang papanya. Teman-temannya segera menenangkan. Memberi tahu bahwa papanya baik-baik saja dan akan segera ikut kemari.
 

"Risty aku minta maaf. Aku menyesal udah nggak percaya sama kamu." kata Arya tanpa basa-basi."
 

"Nggak papa kok Ar. Aku ngerti. Salah aku juga nggak pernah cerita tentang ini sama kalian." kata Risty tulus.
 

Bima masih menatap Risty dengan tatapan –menyedihkan-sekali-kamu-. Sementara Tia yang merasa punya salah paling besar kepada Risty masih belum mampu menatap mata Risty langsung. Dan Risty sadar akan itu.
 

"Tia kamu kenapa?" Risty membuka pembicaraan.
 

Tia sedikit kaget mendengar suara itu,"nggak kok Ris. Aku… aku… "   

Belum selesai Tia bicara, Risty sudah mendahuluinya,"minta maaf? Kamu kan sahabat aku Ti! Pasti aku maafin." ucapnya santai masih menebar senyum.
 

Ada perasaan lega pada batinnya."Makasih Ris." ucapnya mendekati Risty untuk memeluknya.
 

"Ahh. Pelan Tia! Ini sakit." ujar Risty manja.
 

"Maaf." kata Tia menyesal.
 

"Iya iya." balasnya. Kemudian tertawa kecil. Tidak bisa. Begitu tawa kecil itu keluar, rasa sakit dari sesuatu di dalam pinggangnya terasa lebih mengerikan. Itu ginjalnya."Aduhh!" rintihnya.
 

"Kenapa Ris?" tanya Arya panik.
 

"Nggak. Nggak papa kok. Kalian jangan berlebihan gitu dong." ucapnya sembari menahan rasa sakitnya dalam-dalam. Keringat dingin muncul dari pelipisnya.
 

"Jangan sok kuat deh." ucap Bima sengaja ketika melihat ekspresi Risty yang menunjukkan kesakitan.
 

"Ris, jangan tinggalin kita." mohon Amel.
 

Wajah Risty terlihat lebih serius dari sebelumnya."Aku seneng pernah punya cerita sama kalian." ucapnya pelan,"aku seneng pernah jadi tokoh di cerita ini. Cerita… kita." lanjutnya sedikit terbata.
 

"Kita sayang sama kamu Ris. Bnget malah." kata Tia meyakinkan.
 

"Kamu sendiri yang bilang Ris. Ini cerita kita." ujar Bima,"tanpa kamu, kita nggak akan pernah bisa buat cerita yang utuh."suara baritonnya tedengar tegas.
 

Risty tertawa kecil –lagi-. Kali ini sedikit memaksa, berusaha menahan efek rasa sakit yang ditimbulkannya. Karena ia ingin menunjukkan kebahagiaannya.
 

"Jangan ketawa lagi Ris!" perintah Arya yang tahu pasti rasanya sakit. Terlihat dari raut wajah Risty yang memerah.
 

"Aku seneng Bima ngomong gitu." katanya,"berarti satu permintaan aku. Tolong … inget aku. Karena selama kalian inget aku, selama itu pula aku akan tetap ada dalam cerita." ucapannya terdengar sangat tulus.
 

"Risty." suara berat terdengar memanggil nama Risty. Berusaha memutar lemah roda-roda kursinya agar bisa mendekati Risty. Mendekati anaknya. Tubuhnya masih lemas, pengaruh obat-obat yang diberikan padanya.
Rasa sakitnya muncul lagi. Rasanya seperti ditusuk-tusuk. Perutnya seperti dilewati ular besar, sangat besar. Berat sekali. Sakit.Membuatnya tidak mampu bergerak. Rasa sakitnya, menyulitkannya untuk menarik udara.
 

"Pa… jaga diri baik …ba … baik." ucapannya semakin terbata. Rasa sakitnya sudah menjalari seluruh tubuhnya."Risty … sayang pa..pa.."
 

TIIIITTTTTTTTTTTTTTT ….
 

Garis hijau itu sudah tak membentuk rangkaian menyerupai sandi rumput lagi. Kali ini lebih simple. Tanpa bentuk naik turun lagi. Suaranya membuyarkan air yang sedari tadi masih menggantung dimata. Sekarang, semuanya tumpah tanpa bisa di bendung. Alat disamping tempat tidur itu menerangkan semuanya. Tuhan memang tak pernah mengingkari janjinya. Tak pernah menarik takdir manusianya yang memang harus begitu. Kini garis itu berubah menjadi garis lurus panjang tanpa akhir. Membawa rahasia dimana malaikat membawa nyawanya kini. Menjauh dari dunia nyata ini.
 

Tubuh sang ayah melemah. Kesalahan terbesarnya adalah tidak bisa menemani putri semata wayangnya itu melewati masa sulitnya. Menyedihkan sekali. Itulah dirinya kini. Tetesan air mata itu sudah tidak sanggup ia keluarkan. Mengingat air mata itu sudah ia tumpahkan beberapa waktu lalu, setiap melihat ruam merah di wajahnya, setiap ia melihat anaknya meraung kesakitan pada perutnya, atau setiap ia melihat anaknya terpuruk lemas. Matanya sudah mengering. Tak sanggup meratapi kepedihan putrinya itu lagi.
 

Keterkejutan bukan hanya karena kepergian 'nya'. Tetapi juga karena betapa cepatnya waktu. Tuhan, apa Kau sengaja mempercepat waktu? Sengaja membuat kami merasakan kesenangan bersama secepat ini? Kita bersama yang memulai cerita hidup ini. Kenapa Kau tidak membuat kita mengakhirinya bersama pula? Apa ini kedengaran tidak adil? Ya.
 

Ini bukan hanya kesedihan. Ini bencana. Miris melihat mereka yang terlihat mengerikan. Matanya semakin sipit karena terlalu lama menangis. Terlalu banyak menguras air dalam matanya. Risty, kami akan merindukanmu…


*

"Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka saat kita tertawa"

Hari-hari terus berlalu normal. Bulan telah berganti.Waktu telah menjuh dari kejadian tragis kala itu. Kenangan demi kenangan bersama tidak akan pernah terlupakan. Terbukti bahwa Risty tidak pernah mengkonsumsi barang atau obat terlarang. Karena dokter pernah menyatakan tidak ada hal semacam itu yang pernah masuk kedalam tubuhnya. Apa lagi dampak pada fisik dan jiwanya. Nihil. Sama sekali tidak ada.
 

Ayah Risty kini telah membangun hidupnya dengan baik. Memilih untuk hidup sendiri dan pergi keluar kota untuk kelangsungan pekerjaannya. Foto-foto serta kenangan bersama anak dan istrinya selalu ia bawa kemanpun. Karena memang hanya itu yang tersisa. Hidupnya sudah lebih baik sekarang. Karena Ia tidak lagi harus menahan sakitnya melihat anaknya terpuruk. Tidak lagi larut dalam kesedihan. Setidaknya ia tahu bahwa keluarga kecilnya kini telah tenang bersama-Nya. Semoga Tuhan memberikan tempat terindah di sisi-Nya untuk orang-orang yang disayanginya itu.
 

Ditempat bernuansa rimbun klasik itu masih terasa sering di jamah. Rumah pohon sederhana itu masih bertahan. Aeolos melakukannya dengan baik, menghembuskan angin lembut tidak terlalu kuat atau tidak terlalu lemah. Menimbulkan efek suara angin yang sewajarnya. Yang mampu membawa tawa-tawa itu kedengaran lebih merdu. Lima sahabat itu masih sering berkunjung kesana rupanya. Sekedar untuk menghabiskan waktu luang di sore harinya. Atau sekedar mencurahkan hati bersama tentang sekolahnya. Hingga membersihkan daun-daun yang masuk kedalamnya. Suasana yang tenang membawa mereka ke dalam kenangan indah bersama. Menatap foto itu, mengulang ceritanya lagi. Haha. Menyenangkan sekali. Foto ketika Risty genap berusia enam belas tahun. Gambarnya terlihat remang-remang hanya di terangi lampu-lampu kamar kecil membentuk tulisan 'Happy Birthday Risty' sebagai backgroundnya.Kebahagiaan disana. Ya. Yang tengah berada disana memang mereka 'berlima'. Tia, Amel, Bima, Arya. Dan Risty yang selalu ada dalam asa mereka. Dalam pikiran mereka. Dalam hati mereka.

    Di 'Kehidupan' Movie ini
    Tokoh utamanya bukan aku
    Bukan kamu
    Bukan dia
    Tetapi 'kita', karena ini Cerita Tentang Kita


Read More

Cerpen Pertamaku


Friendship > Heart Prince


You're not for reseve,
because you always be the main
(heart prince)

Adalah kata-kata yang terpampang pada salah satu majalah remaja yang cukup terkenal dengan temanya "Heart Prince". Sesaat terlintas dipikiran seseorang.Apakah heart prince itu nyata? Apakah seindah itu yang namanya heart prince? Lalu siapakah yang mungkin adalah heart prince-nya? Pikiran itu muncul tak bukan dari seorang gadis remaja, yang masih memiliki banyak pertanyaan yang dirasanya wajar didalam kepalanya.



"Wahh keren ni majalah !" terdengar suara lembut seorang gadis yang tidak kunjung berkedip melihat majalah di tangannya.

"Hehh, ngapain lo mojok di kelas sendirian Dinn ?" tiba tiba suara kasar sedikit cempreng membuyarkan konsentrasi gadis tadi.

"Ah ganggu lo !! Jangan panggil Dinn Dinn gitu dong, ntar gue di kira Udin lagi !" sahutnya yang berniat bercanda, tapi tak membuat gadis lain di depan pintu tadi tertawa.

"Yayaya, Dinna lagi ngapain ?" tanya gadis itu lagi sambil tersenyum dengan nada sok imut dan mulai berjalan mendekat ke arah Dinna.

"Repugnant !!" jawabnya sambil mengangkat alis dan masih memegang majalahnya.

"Ah lama, udah buang aja barang lo itu. Ikut gue ke kantin. Laper gue." Ucapnya dengan segera menarik tangan Dinna tanpa memikirkan nasib majalah yang baru dibeli Dinna.



Ya, gadis-gadis itu adalah Dinna Arifani dan sahabatnya Laurena Cininta atau biasa di panggil dengan sebutan Aren. Dinna adalah seorang gadis cantik dengan mata bulatnya, lembut, ramah, dan lumayan sibuk karena gelarnya sebagai wakil ketua osis dari SMA K-International School di Jakarta. Berbeda dengan Aren yang ceplas-ceplos, tidak sabaran, dan sering tidur saat pelajaran sejarah, tetapi Aren juga gadis yang cukup manis untuk dilirik murid laki-laki di sekolahnya.



*



Suasana kantin yang ramai, dengan kesibukan biasa yang dilakukan orang-orang di kantin. Tiba-tiba tersadar akan atmosfer yang berbeda tengah melewati gadis cantik bermata bulat yang sedang menikmati makanannya dan kini mulai tercengang. Dinna seketiika terdiam melihat sosok yang melewatinya. Dari tatapan matanya yang dingin seakan-akan mampu membuatnya tak bisa bergerak. Begitu pula alis tebalnya yang membuatnya semakin menawan. Bahkan dalam pikiran Dinna, mungkin Dewi Horus, dewa kecantikan Mesir Kuno pun bisa jatuh cinta padanya. Atau mungkin batinnya dia boleh menjadi 'heart prince' nya walalupun hanya dalam mimpi. Ya, Muhammad Aditya Haling murid dari extra KIR yang keren, pintar, dan pastinya tidak sedikit gadis yang menyukainya.



"Weyy !!" suara Aren yang cempreng berhasil membuat Dinna sadar dari lamunannya "Ayo dong Dinn, cewek didepan lo ini juga tau kalo lo suka sama si Adit, tapi jangan gitu juga lah ngeliatnya." Ucapnya dengan wajah cengo ke arah Dinna.

"Please Aren. Don't make me looks fool." Jawab Dinna yang sudah mati gaya.

"Haha, sorry. Take it easy, you just looks fool in front of me. Not other." Katanya setengah berbisik kearah Dinna, kemudian melanjutkan tertawanya "just kidding Dinn." Sambungnya ketika melihat Dinna melotot kearahnya.

"Gak lucu !" ucapnya sambil memasang raut wajah kesal. Dan entah sadar atau tidak, tetapi ada yang memperhatikannya dari jauh –Adit-.



Aren hanya menanggapi dengan geleng-geleng kepala dan menahan tertawanya agar tidak membuat sahabatnya semakin marah.



*



Hampir tiga minggu berlalu dengan aktivitas SMA K-International School dan murid-muridnya seperti biasa. Hari itu, hari Selasa yang benar-benar sangat biasa, dan sekaligus membosankan bagi murid kelas XI IPA 3, khususnya Aren yang bisa pingsan atau bahkan mati suri sejenak karena mendengarkan suara berat merdu Pak Rana guru Sejarah. Tetapi saking merdunya suara Pak Rana ,membuat Aren tidak sanggup menahan matanya untuk tidak … .



"Okay, yes, meganthropus's fossil was found by … " perlahan suara Pak Rana semakin remang-remang dan menghilang dari telinga Aren. Kedua matanya pun sudah pewe di atas tangannya.



Setengah jam lebih pelajaran terlewat oleh Aren dengan nyaman. Terdengar remang-remang suara murid-murid lain dari belakangnya, yang mungkin sedang mendiskusikan pelajaran Sejarah yang mengantukkan itu pikirnya seraya masih dalam mimpinya. Tiba-tiba dirasa benda dingin kini tengah berada di pundak gadis yang sedang menikmati damainya pelajaran Sejarah.



PLAKKK !! Reflek tangan Aren pun melayang ke arah benda dingin yang mengganggunya.



"ARENNNNNN !!! Wake up! Are you dare to me? Hit me and sleep when I teach?" suara berat yang tidak asing bagi Aren terdengar menggelegar di belakangnya.



Seketika Aren terperanjat dan menoleh ke belakang. Baru sadar bahwa benda dingin tadi adalah tangan Pak Rana yang kedinginan karena AC di kelasnya. Sebentar ia terdiam karena masih shock "Ma ..ma ..maaf pak. Saya khilaf. I am so tired Mr, I just want to sleep a minute. I won't do this again. I promise." Ucapnya memasang wajah melas ke arah Pak Rana.



"How can you said like that. If you do that again, I will law you and I won't allow you to follow my lesson again!! And …. "



*



KRING ..KRING …,



Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Aren yang masih lesu karena mendengar amarah Pak Rana yang cukup membuat telinga panas dan kepala pening kini telah membaringkan kepala di mejanya. Sebentar ia melirik temannya yang duduk di bangku sebelahnya tengah tersenyum-senyum sendiri. Padahal pikirnya bukan waktu yang pas untuk tersenyum setelah pelajaran Sejarah yang seperti tadi.



"Ehh Dinna, ngapain sih lo senyum-senyum sendiri?" tanya Aren dengan wajah heran.

"Gak apa kok, cuman lagi seneng aja" jawabnya tanpa melihat Aren dan masih tersenyum.

"Hahh? Seneng?? Baru ngeliat temen lo di marahin habis-habisan, seneng??" katanya sedikit kesal.

"Ya bukan karna itu lahh! Kan you're my best friend. Hehehe."jawabnya lagi, kali ini sambil tersenyum ke arah Aren.

"Terus???" tanyanya makin heran.

"Hemmm …"



-flashback on-

19.03 WIB



Malam itu seorang gadis sedang duduk terdiam di halaman rumahnya sendirian. Ketika awan mendung tanpa bintang dan angin berhembus kesana kemari tanpa permisi berulang kali mengibaskan rambut panjang Dinna hingga menutupi wajahnya, namun kemudian ia selipkan lagi di belakang telinganya. Begitu terjadi lagi, hingga ia sadar ada bayangan seseorang di belakangnya yang tengah berjalan mendekat. Seketika ia menengok. Dan seorang kini telah berdiri di depannya, dengan sepatu putih nya ia semakin mendekat. Dengan sadar Dinna melihat sosok pria dengan kaos panjang berwarna biru dan garis-garis hitam serta celana jeans panjang yang dipakainya, di tambah jam tangan bercorak hijau army yang menghiasi tangannya. Semakin jantung Dinna berdetak kencang ketika melihat sosok itu adalah Adit, dengan alis tebalnya juga matanya yang kini menatap Dinna.



"Hai."ucap pria tadi.

"Hai. Kamu ngapain disini ?" tanyanya heran, dan masih terkejut karena kedatangannya.

"Hemm, tadi kebetulan lewat. Dan nggak tau aku pingin aja ngobrol langsung sama kamu. Biar nggak lewat telfon terus. Yaa, main-main aja lahh." Jawabnya smbil menata alasan, yang sebenarnya belum ia siapkan.

"Ohh, mau masuk ? Aku buatin minum ?" kata Dinna menawarkan.

"Eh nggak usah repot-repot. Kamu disini aja. Aku mau ngomong sebentar." Katanya dengan sedikit agak ragu.

"Hemm, mau ngomong apa ?"

"Sebenernya … aku … mau tanya." Katanya canggung.

"Tanya apa ? Nggak mungkin pelajaran fisika kan ? Secara kamu anak KIR gitu. Hehe." Jawab Dinna sedikit mengajak bercanda agar tidak canggung.

Adit tetawa kecil, kemudian menghela nafas, lalu terdiam.

"Adit ?" ucap Dinna ketika sadar Adit tengah melamun.

"Dinna, aku mau jujur kalo aku … suka sama kamu." Ucap Adit tiba-tiba, tanpa memikirkan dampak kata-kata itu bagi gadis yang kini berdiri di depannya.



-flashback off-



"Hahhh ? Itu beneran ?? Lo serius Dinn ? Wahh ayo ke kantin traktir gue !" kata Aren dengan tampang setangah percaya dan setengah tidak.

"Yee. Aku juga kaget kemarin tapi … aku seneng kok. Hehe." Ucapnya sambil tertawa kecil.

"Ahhh Dinna lagi kasmaran." Ucap Aren dengan nada menggoda.



*



Bulan satu sudah berganti dengan bulan lainnya. Dinna masih sahabat Aren, mereka masih murid SMA K-International School, masih di kelas XI IPA 3. Begitu pun dengan Adit yang statusnya masih sebagai 'pacar' Dinna.



"Iya ... kamu sekarang dimana? … ntar aku jemput ya, jangan kemana-mana… " terdengar obrolan seorang pria dengan orang lain via telfon.

"Adit." Sapa Dinna yang kebetulan berada di taman sekolah yang sama.

"Eh… ya udah ya .." buru-buru Adit menutup telfonnya karena kedatangan Dinna "kenapa sayang ? Kamu ngapain disini? Katanya mau ngerjain tugas?"tanyanya dengan nada sedikit canggung.

"Iya, ini mau ke perpus cari bahan? Temenin yuk, sekalian bantuin bikin sketsa poster buat keperluan anak osis." Jawab Dinna yang awalnya agak aneh dengan sikap Adit, tetapi tak terlalu menghiraukannya.

"Hemm, boleh. Ayo pergi." Ajak Adit yang kemudian menggandeng tangan Dinna kearah perpustakaan.



Sepanjang istirahat kedua, mereka habiskan di perpustakaan, hingga saat bel masuk berbunyi, Dinna menerima sms dari Aren yang mengatakan jam terakhir kosong karena guru mata pelajaran Kimia sedang sakit dan tidak bisa mengajar. Dinna dan Adit pun memutuskan untuk meminta surat izin agar tetap bisa di perpustakaan menyelesaikan pekerjaannya. Kesunyian perpustakaan terpecah seketika, mendengar handphone Adit yang berbunyi. Dengan wajah sedikit cemas, Adit pergi mengangkat telfon.



"Hallo … iyaa .. tunggu bentar lagi aku kesana kok … ini masih di sekolah … ." kata Adit yang bisa di dengar Dinna sedikit remang-remang.



Beberapa saat kemudain Adit kembali bersaamaan saat bel pulang sekolah berbunyi.



"Siapa Dit ? Kayaknya penting ?" tanya Dinna dengan penasaran.

"Nggak kok, tadi tante aku minta jemput. Jadi nggak papa kan kalo aku pergi sekarang ? Kasian tente aku udah nungguin." Jawabnya dengan nada sedikit canggung lagi.



Dinna masih memasang wajah penasarannya "ohh ya udah deh, kamu pergi aja, nggak papa."



Adit tersenyum kecil "makasih sayang. Aku anter pulang yuk ?"



"Nggak deh aku pulang sama Aren aja ya."

"Ya udah kalo gitu. Hati-hati ya." Ucap Adit sembari bergegas meninggalkan Dinna.



*



Gadis yang sejak tadi heran, hingga sekarang pun keheranan dan rasa penasaran tak kunjung hilang dari hatinya. Dinna merasa ada yang aneh dengan Adit, sikapnya berubah. Tidak seperti yang sebelumnya.



"Dinna jangan ngelamun dong !' kata Aren yang berdiri di sampingnya "ini di mall bukan di sekolah. Jadi stop mikirin tugas lo oke." Tambahnya.



"Iya iya. Aku nggak mikirin tugas kok. Kan aku juga udah janji mau nemenin tante Erni belanja." Jawab Dinna.



"Ehh ayo Aren, Dinna sebelah sini, mama mau nyari sepatu." Ucap Tante Erni, mamanya Aren.



"iyaa ma." Jawab Aren "ayoo Dinn !" sambungnya kemudian menarik tangan Dinna.



Disanalah mereka. Dua gadis dengan satu wanita parubaya yang tengah melihat dan mecoba sepatu yang menurut mereka bagus. Dinna terlihat tertawa ketika melihat sepatu yang dicoba Aren berbentuk aneh dengan kepala buaya di ujungnya. Aren hanya melihat Dinna polos, sambil mengangkat sebelah alisnya. Karena menurutnya itu tidak aneh, tetapi lucu dan unik. Ketika Dinna menoleh ke arah kanan, dia melihat sepatu yang indah berwarna coklat keemasan . Kemudian ia menghampirinya. Di mall yang cukup ramai, dan banyak suara-suara di sekeliling Dinna. Dinna merasa ada suara yang 'tidak asing' baginya. Dan buruknya ketika ia menoleh ke belakang, itulah hal yang paling tidak ia inginkan.



"Adit ??"ucapnya dengan nada agak tinggi, sengaja ingin membuat pria yang kini di depannya bersama seorang gadis lain itu agar menoleh.



Pria itu pun menoleh "Kamu ngapain disini ?" ucapnya dengan nada gugup dan terpojok.



"Ngapain ? Harusnya aku yang tanya. Kamu ngapain disini ? Kamu bilang jemput tante kamu, tapi sekarang malah jalan sama cewek !!" Kata Dinna kecewa, sebentar menatap sepasang manusia di depannya dengan tajam. Lalu meninggalkan mereka dengan mata yang mulai basah.



Aren yang sadar akan apa yang dilihatnya. Dinna dan Adit .. . Aren pun pergi menyusul Dinna. Hingga ke arah parkiran mall ia melihat sahabatnya sedang berdiri berhadapan dengan seorang pria. Dia tidak mengerti jelas apa yang mereka bicarakan. Sedikit ia bisa mendengar kata-kata mereka yang di ucapkan dengan nada tinggi.



"Dinna, aku minta maaf. Aku tau aku salah, tolong dengerin aku dulu …" kata seorang pria yang tengah di perhatikan Aren.

"Bullshit tau nggak! You're scoundrel !! Gue benci sama lo dan gue nggak mau liat lo lagi !" ucap Dinna dengan nada membentak kemudian pergi meninggalkan Adit.



Aren yang terdiam pun kini menghampiri Adit.



"Jahat lo!" reflek ucapnya dengan nada pelan, sambil nenunjukkan telunjuknya kearah Adit. Kemudian pergi mengejar Dinna.



Aren yang mengetahui Dinna masuk ke mobil matic X-Trail nya pun ikut masuk kedalam tanpa berkata apa-apa. Masih di mall, Ibu Erni, mama Aren menerima pesan di handphonenya.



    Sender: Aren

Mama pulang duluan aja pake mobil mama.
Aku sama Dinna mau pergi ke tempat lain dulu
I love you mama.
    ------



*



Dinna menghentikan mobilnya tepat di pinggir jembatan dekat komplek rumah Aren yang cukup sepi, di suatu daerah di Jakarta. Aren masih terdiam melihat sahabatnya keluar dari mobil dan kini mulai mengalirkan air matanya dengan deras. Entah apa yang ada di pikiran Aren saat ini, bahkan mulutnya yang ceplas-ceplos kali ini bingung mau berkata apa. Dia sadar, dia tidak pintar menyusun kata-kata, yang bahkan untuk sekedar membuat sahabat disampingnya berhenti menangis.



"Dinn, lo … jangan nangis lagi ya ?" ucap Aren yang tengah berdiri disamping Dinna dan masih merasa bingung.

"Haruskah gue berhenti nangis? Kenapa? " tanyanya kembali dengan nada terisak "lo tau kan batuan pasti lama-lama lapuk kalo terus-terusan kena air. Dan nggak ada sebab yang bisa bikin tuh batu terus jadi batu yang utuh. Sama kayak hati gue, kalo gue disakitin terus. Nggak ada sebab yang bisa bikin hati gue terus utuh." Katanya dengan nada pelan dan masih terisak tapi sangat meyakinkan.

"Well, nyatanya temen gue ini nggak terlalu paham geografi. Kalo batu nggak pernah lapuk, tanah nggak akan kebentuk. Kalo nggak percaya ntar search google 'proses terbentuknya tanah' deh, dari mana lagi kalo nggak dari batuan lapuk. Malah pecahan batu karena pelapukan itu bisa membentuk tanah yang luaaassss banget."kata Aren yang baru kemarin membaca buku geografi sehingga refleks mengatakannya "jadii ..apa remukan hati lo nggak bisa jadi hati yang lebih lapang gitu ?" tambahnya.

"Berarti gue lebih rendah dari batu ya. Bahkan gue nggak bisa jawab pertanyaan lo… gue pingin sendiri, lo bisa ninggalin gue kan ? " Kali ini lagi-lagi air matanya mengalir bak air bah yang mampu nenghancurkan bendungan.



Aren semakin bingung, karena ternyata malah membuat sahabat disampingnya semakin enggan berhenti menangis. Tanpa menghiraukan sedikitpun kalimat terakhir yang diucapkan Dinna. "Aduhh Dinna, lagian ngapain sih lo nyama-nyamain diri lo sama batu ? Batu itu cuman bisa diem aja, tapi lo bisa ngelakuin apa aja yang lo mau. Sadar dong Dinn, sayang air mata lo di buat nangisin orang kayak Adit !!" kata Aren yang mulai putus asa, dan agak kecewa.



"Jangan sebut nama dia di depan gue. I hate him, and I don't want hear anyting about him, okay!" ucap Dinna dengan menatap tajam ke arah Aren dengan nada sedikit membentak.

"So? Sampai kapan lo mau nangisin dia? F'in love lo itu ? F'in love ? You hear that ? FUCKIN LOVE Dinna ?" jawab Aren dengan nada sedikit tinggi.



Dinna terdiam masih dalam isakannya. Tak tahu apa yang di dengarnya, atau tak mau tahu tentang apa yang di dengarnya. Apakah arti kata 'fuckin love' ? Padahal ia pernah memujanya beberapa bulan yang lalu. Bahkan sempat tertawa melewati hari-hari bersamanya. Hingga sulit lepas darinya. Sempat merasakan dentuman yang berbeda dari dalam jantungnya. Sekedar melihat alis tebalnya saja bisa membuat hati lebih tenang. Tapi ternyata, itu semua hanya tipuan awal belaka. Yang pada akhirnya, kenyataan tidak semanis tipuan. Manusia yang kita kenal tidak selalu akan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Bahkan senyaris sempurnanya fisik manusia, belum tentu bisa mengusir kemunafikan dan kebusukan dirinya. Mungkin itulah yang tengah ada dipikiran Dinna, ketika ia tahu kepada siapa ia pernah merasakan -se-su-a-tu- yang kini ia rasa salah. Suara hatinya terus bersautan, hingga ia sadar ada orang lain disampingnya. Kemudian ia menatap Aren.



Aren sadar, mata Dinna tengah tertuju padanya "Dinna, mungkin aku belum bisa bikin kamu berhenti nangis saat ini. Tapi seenggaknya aku akan tetep disini. Kamu boleh anggep aku nggak ada, tapi jangan suruh aku pergi dari sini. Please." Ucap Aren yang merasa Dinna ingin ia pergi.



Dinna hanya diam, dan kemudian kembali menatap lurus kedepan, membiarkan angin di jembatan itu meniup wajah dan rambutnya pelahan. Mungkin berharap pula masalahnya bisa ikut pergi terbawa angin. Dan tanpa sadar hari mulai gelap,tepat pukul 19.07 WIB. Sejenak pikirannya kosong, tetapi entah sejak kapan kata-kata Aren kembali melintas dalam pikirannya. Kanapa aku harus menangis? Kenapa aku tidak bisa melapangkan hati ini? Apa jawabannya karena aku lemah? Atau karena aku terlalu berlebihan dalam menghadapi ini?



"Dinna gue mau nanya sampe kapan lo mau disini ?" tiba-tiba terlontar ucapan dari mulut Aren yang tengah memukuli dirinya sendiri karena gigitan nyamuk-nyamuk imut"Ayo deh Dinn, jangan ngerasa lo berlebihan ngadepin ini, atau jangan-jangan lo ngerasa lemah ya karena nangis gara-gara ini ? Itu pikiran donkey Dinna. Tapi aku tau sahabat aku lebih dari itu.Wajar kalo orang pernah ngerasain sakit hati, tapi wajar juga kalo itu akan hilang sedikit demi sedikut dibantu waktu" Tambahnya refleks lagi tanpa menyadari perasaan apa yang tengah dirasakan Dinna saat kata-kata itu di dengarnya.



Dinna yang masih kaget mendengar perkataan Aren. Tiba-tiba beranjak dari lamunannya dan meraih tubuh sahabatnya. Dinna memeluk Aren, sadar arti penting gadis yang tengah di peluknya saat ini. Belum tau sepenting apa, tetapi yang pasti lebih dari arti kata 'heart prince' yang ia dambakan atau mungkin yang lebih pantas disebut dengan 'fuckin love' itu.



Aren yang bingung dengan pelukan sahabatnya itu, hanya membalas pelukannya dengan wajah agak cengo karena memang benar kebingungan.



Sesaat Dinna melepas pelukannya."Thanks Aren."ucapnya pelan dengan tersenyum manis dan tak mau lagi mengingat apa yang baru ia lewati.



Aren pun membalas dengan senyuman yang tak kalah manisnya.



Baru disadari oleh Dinna bahwa arti sebenarnya bukanlah seberapa penting untuk tahu kenapa ia harus berhenti menangis atau sampai kapan rasa sakit itu ada pada dirinya. Tetapi sepenting inilah kehadiran sahabat yang mau menemani saat air mata itu menetes, ataupun saat rasa sakit itu muncul.


Friendship is not for reseve
Because it always be the main
(Bestfriend)      
Read More

Minggu, Juni 26, 2011

Time for Suka-suka

Its time for suka-suka (?)
ha?
Jangan tanya maksudnya! Karena saya bikin blog ini, bikin nama ini awalnya cuma karena suka-suka.
Jadi saya mau ngapa-ngapain di blog ini juga suka-suka.
x_x
Read More

Social Profiles

Twitter Google Plus LinkedIn RSS Feed Email

Download

Apapun proses yang tengah kamu jalani, percaya deh! Kamu hebat :)

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Angka Hoki

Cari Blog Ini

Translate

Laman

BTemplates.com

About

Copyright © Here I Am | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com